Risalah Hati Bab 3: Senyuman

Risalah Hati Bab 3: Senyuman

SENYUMAN

Kiana menutupi wajah dengan tasnya dan pura-pura tidak melihat bu Hanin. Dia melirik dari jendela kelas Ipa tiga ternyata satu kelas menatap tajam kearah dirinya termasuk Fian.

“Aish bikin malu saja” Kiana melewati bu Hanin dan langsung meletakkan tasnya sembarangan

“Dasar murid kurang sopan, sudah telat pura-pura tidak mendengar lagi!” teriak bu Hanin untuknya.

“Astaga lu telat” tanya Iis yang sembari membagikan buku.

“Iya, gue kesiangan” jawab Kiana santai dengan wajah polosnya.

Tiba-tiba bu Hanin masuk kekelas kami.

“Kiana!” teriak bu Hanin

“Iya bu” Kiana menundukkan wajahnya dan menggigit bibir bawahnya.

“Kamu ini yah, sudah telat tidak beri salam malah tutupi wajah pakai tas” marah bu Hanin meledak.

Kiana hanya diam tanpa menjawab. Hampir setengah jam bu Hanin memarahi bahkan yang lainnya juga kena imbas.

“Memang kelas ini tu buruk sekali kelakuan muridnya, beda sama kelas sebelah” bu Hanin membandingkan kelas kami dengan kelas yang sedang beliau ajar.

Kelas kami memang terkenal ribut dan ada beberapa guru yang membicarakan kalau kelas kami itu kelas buangan, karena dikelas Ipa empat ini semua muridnya terkenal jarang masuk kelas, rok siswi pada pendek, suka dandan, kekantin saat jam pelajaran dan selalu ribut seperti pasar.

Kami semua hanya mendengarkan beliau bicara tanpa sekata apapun kami semua tidak menjawab. Karna kami hanya diam saja amarah bu Hanin bertambah, beliau makin kesal dan akhirnya meninggalkan kelas kami.

“Pagi-pagi udah kena siraman rohani hahaaha” celetuk ketua kelas dan entah kenapa kami semua tertawa terbahak-bahak.

“Tugas Fisika sudah?” tanya Andre pada Kiana

“Belum, tetapi sudah ada yang selesai beberapa” Kiana menjawab dengan santai tanpa beban.

“Kita ada tugas memangnya” tanya Iis bingung sambil membolak balikkan buku LKS Fisika

“Ada halaman sepuluh, nomer satu sampai lima” Andre membuka halaman tersebut dibuku LKS miliki Iis.

“Eh iya beneran ada, belum ada jawabannya tapi hehe” Iis terkekeh.

“Dasar!”

“Ndre, gue nyontek yak” muka Iis memelas dan menadahkan tangannya.

“Nih!” Kiana memberikan bukunya untuk Iis.

Andre tersenyum melihat buku tulis itu penuh dengan coretan pena.

“Uwaahhh, Gue nggak nyangka lu pinter” Iis mengacungkan dua jempol kearah Kiana.

“Gue bangga sama lu, Kia” sambung Andre

“Maksud lu apaaan! hinaan atau pujian nih” Kiana menyilangkan tangannya.

“Pujian kok” Andre tersenyum.

“Maksasih” Kiana balik tersenyum.

Iis langsung menyalin semua jawaban yang ada di buku Kiana. Tanpa bertanya bagaimana bisa dapat jawabannya sekian.

“Buruan, bentar lagi bu Lensi dateng” desak Kiana yang cemas kalau nanti Iis ketahuan belum menyelesaikan PRnya.

“Iya sedikit lagi ini….”

“Bu Lensi sudah datang Iis”

Iis langsung menutup bukunya dan langsung merapikan mejanya dengan cepat.

“Pagi” sapa bu Lensi saat memasuki kelas.

“Beri salam” jawab ketua kelas. Kami semua berdiri “Selamat pagi, Bu”

Setelah mengucapkan salam kami duduk kembali dikursi kami.

“Tugas sudah dikerjakan?” tanya bu Lensi pada kami.

“Sudah bu” dengan semangat kami menjawab entah jawabannya benar atau salah yang penting sudah selesai.

“Kiana, kamu mau jawab nomer berapa?” tanya bu Lensi padanya. Seketika murid lain melirik dan menatap kearahnya.

“Nomer tiga bu” Kiana langsung mengambil spidol di meja guru dan langsung mengerjakan jawaban nomer tiga dipapan tulis

“Ada yang sama jawabannya?” tanya bu Lensi pada yang lain saat Kiana selesai menulis jawaban.

“Saya bu” Gea mengangkat tangannya “Hasilnya sama bu tapi jalannya berbeda dari yang di jawab oleh Kiana bu”

“Coba kamu tulis jawaban kamu disamping jawaban Kiana?”

“Iya bu” Gea menatap Kiana penuh ambisi, bu Lensi terdiam beberapa menit sambil mengamati jawaban kami berdua dan senyum tipis diwajahnya.

“Gea kamu yakin dengan jalan jawaban yang kamu kerjakan? Tetapi jalan penjabaran jawaban Kiana yang lebih tepat”

“Tapi bu, seharusnya kan bukan pakai rumus itu tapi memakai rumus yang satunya bu” tanpa menjawab bu Lensi menghampir meja Gea dan melihat jawaban dibukunya.

“Nyontek dari kelas sebelah?” tanya bu Lensi pada gea.

“Nggak bu, saya ngerjain sendiri” Jawab Gea dengan optimis.

“Kalau begitu kerjakan soal nomer satu tanpa membawa buku” perintah bu Lensi.

Gea kembali maju kedepan kelas dan mengambil spidol di tangan Kiana, awalnya Gea bisa menulis jawaban dengan benar tapi saat di tengah penyelesaian soal dia kelihatan bingung dan mencoba mengingat kembali.

“Sudah, kamu duduk dan Kiana selesai jawaban yang di tulis Gea”

“Baik bu”

*

Setelah pelajaran Fisika selesai, Gea menghampiri Kiana.

“Lu, nggak usah besar hati ya!”

Kiana hanya fokus dengan ponselnya tanpa menghiraukan ucapan Gea untuknya. Kiana yang sedang sibuk membaca komentar dihalaman facebooknya tanpa mendengarkan ucapan Gea untuknya.

Brakkkkk!

“Apaan sih ganggu banget” betapa terkejutnya Kiana saat Gea memukul mejanya.

“Alah! nggak usah sok deh!” Gea langsung sinis meninggikan suaranya.

“Lu pergi deh! ganggu banget sumpah!” cetus Iis mengusir Gea untuk pergi. Gea pun pergi keluar kelas.

“Kantin yok, laper” Iis mengajak Kiana kekantin.

“Hmm yok” Kiana mencari-cari sosok yang bisa menetralkan pemandangannya siang ini, Kiana langsung menarik tangan Iis.

“Tadi nggak mau, sekarang kok maksa sih” sahabatnya menjadi bingung dengan sikap Kiana yang bisa langsung berubah. Sesampai dikantin pandangan Kiana hanya fokus ke arah Fian bukan dengan makanan.

“Mau pesen apa?” tanya Iis

“Ngikut aja” Kiana tersenyum saat Fian melirik kearahnya

“Fiaannn!” Sapa Kiana dan Fian tersenyum dan langsung pergi meninggalkan kantin

“Duhhh manis banget, Ya Tuhan senyumnya, bisa-bisa kena diabetes” gumam Kiana pelan tetapi sahabatnya masih bisa mendengar.

“Apa yang manis” Iis melirik kekiri kekanan “Nggak ada apa-apa padahal” Iis langsung menatapa tajam kearah Kiana.

Entah Kiana yang baru sadar selama ini atau memang penampilan Fian yang memang seperti itu. Satu tahun dikelas yang sama Kiana tidak tahu kalau Fian begitu cukup untuk dikagumi.

“Iis, senyum Fian manis banget. Serius!” Kiana menempelkan tangan kirinya di wajahnya.

“Memangnya Fian pernah senyum? serius, kapan? kok gue nggak tahu” Iis mencari sosok Fian dikantin tapi tidak ada sosok yang dicertikan oleh sahabatnya.

“Barusan. Dia senyum kearah gue!” Kiana yang begitu semangat menceritakan senyuman Fian, respon Iis hanya menggelengkan kepala dan membawakan makanan yang telah dipesannya. Kami berdua menyantap makanan dan minuman yang begitu lezat siang ini.

Like & Share