Seperti biasa, kehidupan kampus pada umumnya. Kebetulan hari ini adalah hari terakhir kelas kami karena ada Matakuliah akhir selain Skripsi. Teman kelas sudah menunggu di lorong depan kelas. Yah, di lantai 6 ruangan 612 kelas paling ujung dilorong kelas lantai 6.
Aku ada berhalangan sedikit di jalan saat ingin menuju ke kampus. Tiba-tiba angkot yang aku sedang aku tumpangi mengalami pecah ban untung saja semua penumpang aman.
Waktu yang cukup lama untuk memperbaiki ban angkot, aku pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki dan memilih naik gojek. Dengan terengah-engah aku menaiki satu persatu anak tangga. “Huhhh.. Sial, kenapa harus ada perbaikan lift sih” gumamku sambil mengumpulkan sisa nafas yang masih tersisa. “Untunglah” senyumku mekar saat melihat tulisan kecil didepanku Rg-601.
Aku merasa kebingungan mencari kelas dimana ruangan 612? Padahal ada banyak mahasiswa yang duduk dilorong-lorong kelas.
“Kia..” suara itu terdengar tidak asing di telingaku
“Kak Arkan? Eh maaf maksudku pak Arkan?” aku menudukkan kepala dan menggaruk kepalaku yang sama sekali tidak gatal.
“Kenapa mondar mandir? Kamu masuk kelas 612” jelas pak Arkan. Beliau merupakan kakak tingkat yang aku kenal dan ternyata sekarang dia adalah dosen termuda dikampusku.
“Ohh iyaa kak eh pak maksudnya” aku juga heran kenapa aku mondar mandir seperti salah lantai? Ada apa ini? Seperti ada perasaan yang nggak nyaman tapi aku coba tepis.
“Nahh.. Sini? Masuk kelas sini Kia” Pak Arkan menuntunku kedepan kelas tepat di depan ruangan 612. Aku mengucapkan terima kasih dan beliau sepertinya ingin turun kebawah.
Aku pun masuk kedalam kelas, aku melirik dan ternyata benar semuanya teman kelasku. “Bersyukurlah” ucapku dalam hati. Aku duduk ditempat kursi yang kosong satu-satunya. Lagi-lagi Aku melirik sana sini? Dosennya mana? Untuk pertama kalinya aku benar-benar seperti orang tersesaat.
Hah.. Betapa terkejutnya aku, dosennya ada 3 orang? Anehnya lagi kenapa dosen kami duduk di belakang? Seharusnya kami semua melihat kedepan pemandangnya jelas papan tulis dan dosen yang mengajar dong bukan malah melihat kedinding putih ini. “Konsep belajarnya bagaimana sih” gerutuku “Apa, Matakuliah akhir memang begini adanya?” aku menghela nafas.
Aku pikir hanya aku saja yang kebingungan tetapi kalau dilihat satu persatu wajah temanku yang lain juga tampak kebingungan.
Matakuliah ini bukankan inti namun tanpa Matakuliah ini tidak bisa wisuda karena jumlah persyaratan jumlah SKSnya tidak memenuhi persyaratan untuk Wisuda.
Hampir satu jam kelas dimulai. Entah, kenapa makin kesini dua dosen ini makin beda dan jauh dari bahasan Matakuliah.
“Ah.. Ku pikir ini adalah prank untuk kami yang sebentar lagi selesai kuliah dan juga kenapa dosennya ada tiga yang mengajar. Fix sih ini prank”. Pikirku positif yang penting cepat wisuda.
“Apaan?” aku melirik kearah Gea dengan perasaan kesal. “Kamu tuh yaa seenaknya aja ngomong, kapan? Masalah itu kan urusan mereka. Toh kamu juga tahu semua kenapa hanya aku yang dilemparkan”
2 dosen yang mendengar perkataan Gea lalu berbisik-bisik di belakang. Tak hanya itu kini semua mata hanya tertuju kearahku
“Aku kuliah karena memang mutlak kerja keras ayahku yah, beliau banting tulang, gojek dan dan berjualan dipasar untuk mencukupi semua kebutuhan keluargaku, kamu kan tau hal itu Gea!” Perasaan ku yang bercampur aduk membuat air mata ini mengalir deras. Apalagi sudah membawa-bawa keluargaku yang tidak tahu apa-apa.
“Alah” jawaban singkat Gea makin membuat aku merasa kecewa.
“Tapi, kamu taukan kalau Anggi itu sudah tunangan dengan selingkuhannya?” Ternyata ini permasalahannya, aku langsung mengusap air mataku. “Okeyy, aku paham sekarang” aku langsung mengusap air mata dipipiku.
Sejak isu perselingkuhan Anggi tersebar di kampus, aku pun sudah tidak pernah bertemu dengannya. Bahkan puluhan telpon dan Whatsapp pun tidak ada satu pun yang dijawabnya.
Apa lagi kata teman yang lain Anggi sudah pindah kosan. Aku dan Gea memang orang yang paling dekat dengan Anggi, kami tahu jelas hubungan Anggi dengan doinya sekarang. Anggi memang pernah cerita kalau dia sedang menyukai seseorang selain pelajaran matematika, namun lama kelamaan Anggi yang tadinya ceria sekarang berubah murung dan enggan bercerita. Aku pun tidak ingin banyak tanya.
Sejak hari itu lama kelamaan kami pun berpisah. Matakuliah kami pun juga berubah-ubah karena matakuliah yang ambil sesuai dengan profesi yang kami pilih. Apalagi, sekarang kami sudah sibuk menyusun tugas akhir skripsi masing-masing.
Kembali lagi kedalam suasana kelas, yang tiba-tiba menjadi hening. Satu persatu teman kelasku keluar dari ruangan, aku menghusap air mataku. Aku yang begitu penasaran dengan wajah dosenku, saat aku menoleh kebelakang tidak ada satupun yang mengisi kursi kosong itu.
Aku cepat-cepat membereskan barang-barangku dan memasukkannya kedalam tas. Padahal tidak ada yang lewat satupun.
Tiba-tiba bulu kudu berdiri, merinding, apa ini kenapa semua menjadi remang-remang dan cahaya lampu kenapa redup. Aku mengekor disalah satu teman kelasku namanya Akbar.
Saat kami menuruni satu persatu anak tangga dan lorong kelas langsung berubah, bahkan bentuk bangunan langsung berubah ketatanan bangunan lama. Ada banyak pintu, temanku membuka salah satu pintu dan ada lagi anak tangga, saat kaki kami menginjak tangga terakhir suara tertawa yang begitu nyaring. Iya, suara makluk serba berbaju putih.
“Lariiiii….!!!” teriakku panik “Astagfirullah, tempat apa ini? Kenapa semuanya berubah, ini bukan lorong kelasku” Aku pun menaiki satu persatu anak tangga itu kembali dan mencari-cari ruangan kelas mana yang aman.
Tiba-tiba seseorang menarik tasku dan mengajakku bersembunyi didalam kelas, dia adalah Akbar. Salah satu teman kelasku, tapi teman kelasku yang lain kemana? Aku mencoba memberanikan diri untuk mengintip lewat lubang kecil dari balik pintu, namun Akbar menggelengkan kepalanya. Memberikan isyarat jangan melihat keluar.
“Jangan Kia, jangan…” bibirnya gemetar. Aku pun menjadi takut untuk mengintip keluar. Aku dan Akbar mendengar teriak-teriakan teman kelasku yang sangat ketakutan dan menangis meminta tolong dan ampun. Aku makin memeluk erat tasku dan membaca semua ayat suci Al-Quran yang aku bisa, tiba-tiba suara ketawa itu terdengar jelas membuat kami makin ketakutan.
Layar ponselku menyalah, ada pesan masuk dari adik laki-lakiku. “Kak, dimana? Aku sudah di depan kampus Kakak nih?” aku hanya bisa membaca pesanya lewat notifikasi yang mengambang dari layar ponselku.
“Kak, kenapa semua mahasiswa berhamburan keluar, kakak dimana? Aku masuk ya?” dengan tangan gemetar aku membalas pesan singkat “Tunggu kakak; disana, jangan masuk ya” untungnya adikku menurut.
Suara teriakan, suara wanita tertawa yang menyeramka. kini berubah menjadi suasana kampus pada umumnya. Terdengar mereka bercerita biasa, tertawa dan becanda. Tanpa sepengetahuan Akbar aku mengintip keluar lewat lubang pintu, aku kaget. Ini bukan lorong kelasku, bangunannya bukan bentuk bangunan kampusku. Mereka siapa? Namun tiba-tiba mata merah muncul dari lubang pintu yang aku intip.
“AKBAAARRRR..!!!!! TOLONGGG!!” teriakku panik dan aku langsung menangis.
Aku menekuk dan memeluk kedua kakiku dengan erat. Akbar yang ada disampingku, ikut gemetar, dia pasti marah karena aku tidak menuruti perkataannya.
Kami berdua hanya bisa berdoa dan berdoa semoga ada bantuan yang datang dan menyelamatkan kami berdua.
Masih begitu jelas ruangan tiap ruangan yang kami masuki tadi seperti permainan jebakan, ada banyak pintu tapi saat dibuka hanya suara tertawa nyaring itu. Aku hanya bisa menangis, aku makin bingung kenapa hanya aku dan Akbar yang bersembunyi disini. Apa lagi kelas ini lampunya mati, padahal sebelumnya kelas kami lampunya menyalah terang.
Pintu kelas terbuka, aku langsung menunduk ketakutan dan mengencangkan peganganku pada Akbar. Tiba-tiba lampu menyala terang, aku makin gemetar.
“Kia, ayo pulang” suara itu terdengar tenang, aku mencoba membuka mataku.
“Hiksss hikssss Kak Arkan” reflek aku langsung memeluk Kak Arkan.
“Sudah sudah, ayo kita keluar dari kelas ini” Kak Arkan mencoba menenangkanku.
“Nggak Kak, aku takutttt” suaraku gemetar.
“Iya pak, aku juga takut, baru kali ini aku melihatnya seperti ini” Akbar menyauti.
“Tenang ada jalan pintas kok, syaratnya kalian berdua jangan pernah menoleh kebelakang. Apapun yang kalian dengar pura-pura tidak dengar ya?” jelas Kak Arkan sambil menekan bahu kami berdua.
“Iya, baik” jawab Akbar dan aku sambil mengangguk pertanda paham.
Aku memegang tangan kak Arkan dengan dua tanganku dan Akbar mengekor mengikuti aku dan memegang pikiran bajuku dengan erat.
“Arkaaannn…. Mau kemana kamu hihihi”
“Kiaaaa cantikkk, kenapa kamu takut hah! Kenapa!”
“Aku Anggi teman kalian, Kiaaa.. Akbarr….”
“Kiaaaaa sayangggg, sini aku akan ajak kamu keluarrr dari sini…!”
“Akbarrrrr kamu adalah orang yang tahu kalau aku sudah MATI!”
Aku dan Akbar menahan diri dan pura-pura tidak mendengar. Tepat di depan kami ada lift, ya lift kampus kami, Kak Arkan menyuruh kami untuk turun duluan.
“Ingat, kalian jangan pernah naik kembali, dan jangan membuka liftnya” pesan Kak Arkan.
“Taaappiii, Kak. Kenapa Kakak nggak ikut kami juga untuk turun” pintaku pada Kak Arkan.
Namun Kak Arkan tersenyum dan mengusap kepalaku dengan lembut.
“Kia, nanti saat kamu turun akan ada semua jawaban yang ingin kamu tanyakan ini. “Akbar jaga Kia, kalian orang-orang baik” Kak Arkan tersenyum dan pintu lift tertutup.
“Akbarrrr, kenapa Kak Arkan ngomong gitu” air mataku mengalir dengan deras, kata-kata seperti perpisahan, dadaku begitu sesak.
Duarrrrr!!! Lift yang kami masuki tiba-tiba stop, tanpa bergerak, dan lampu emergancy menyalah. Akbar memegang kedua tanganku dan dia menggelengkan kepala, peringatan jangan Kia.
“Ingat pesan Pak Arkan” Akbar mencoba mengingatkan kembali pesan Kak Arkan pada kami.
Aku mengangguk dan aku tidak akan melakukan kesalahan untuk dua kalinya. Tiba-tiba liftnya berfungsi kembali dan lift terbuka, sudah banyak yang menunggu kami ternyata.
“Untunglah” aku pun pingsan.
**
Sekitar dua minggu dari kejadian yang aku alami, ternyata aku pingsan begitu lama, bisa dikatakan karena trauma. Saat aku tersadar aku melihat keluargaku tersenyum dan mengucapkan rasa syukur mereka karena melihat aku sadar.
Aku hanya menangis dan memeluk ibuku dengan erat, tanpa ada kata-kata satupun yang bisa aku katakan dan aku ceritakan.
“Kia” seseorang memanggil namaku.
“Akbar? Kamu baik-baik aja kan? Kak Arkan gimana udah dapat kabarnya?” Akbar menundukkan kepalanya dengan sedih.
“Kia, kita kemarin salah memasuki lorong kampus, teman kita Anggi bunuh diri di depan lorong kelas kita.” Akbar mencoba menjelaskan dengan hati-hati.
“Tidakkk Akbar itu bukan Anggi teman kitakan? Mana mungkin” Aku masih belum bisa menerima kabar itu dan aku mencoba menepis kabar burung itu.
“Kabar itukan hanya kabar burung, lalu Kak Arkan?” tanyaku lirih dengan air mata membasahi pipiku.
“Pak Arkan sudah meninggal, dia mengalami kecelakaan saat ingin menuju kembali kekampus” Akbar bicara pelan.
“Hahaha hahaha! Kamu ngeprank kan iya kan” Aku menatap Akbar tidak percaya “Apa mungkin orang yang sudah meninggal menyelamat kita? Lucu kamu.”
“Kia, sebenarnya saat Pak Arkan menyelamatkan kita pada hari itu wajahnya pucat dan saat aku ngikuti kalian aku menyadari kepala belakang Kak Arkan sudah bolong” Akbar menjelaskan kembali dengan pelan.
“Suara yang memanggil kita adalah suara Anggi, dan kabar duka itu aku memang sudah duluan mengetahuinya. Namun aku belum memberitahu kalian karena aku ingin mencari informasi lebih dalam, tetapi saat itu Pak Arkan menyuruhku untuk tetap diam” Akbar merasa bersalah.
“Kia, Pak Arkan meninggal bukan karena kecelakaan tetapi dia di bunuh karena mengetahui siapa pembunuh Anggi sebenarnya, dugaan ini hanya firasatku saja.” Akbar mengatakan hal yang sudah lama dia pendam karena tanpa sengaja dia mendengarkan ancaman lewat telpon Pak Arkan “Kita do’akan untuk mereka berdua ya, kita semua kehilangan mereka berdua. Polisi juga sudah menyelidiki kasus ini semoga pelakunya cepat ditangkap”
Aku hanya menangis tersedu-sedu.
***
Acara wisuda kami berjalan dengan lancar. Aku tersenyum melihat foto besar untuk mengenang Kak Arkan dan sahabatku Anggi. Walau air mata ini rasanya tidak ingin berhenti tapi aku langsung mengusapkannya dan aku tersenyum.
“Aku sayang kalian, yang bahagia disana ya orang baik”
-TAMAT-